Tittle : Rosario —Colour Me Blood— [Chap 3]
Author : Shinji Ai
Rating : M
Genre : Angst, DarkFict, OOC, Shonen Ai/BL/Yaoi, Tragedy
hurt
Fandom : the GazettE, Deluhi, ScReW.
Pair : Aoi x Uruha, Reita x Ruki, Kazuki x Yuuto
BGM : DAMNATION — Rentrer en soi
a/n : this fic bassed on Sadie song ‘Rosario’, but its
difficult for me, to make it as Song Fic. =.=)a
please enjoy minna.. ^_^)
][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][
A week after Byou's death...
suasana tegang seolah tak pernah menguap dari tempat itu.
Kematian Gackt, disusul beberapa peristiwa pembunuhan yang terjadi selanjutnya
memaksa Aoi untuk lebih waspada. sejak Kai memberikan pendapatnya, saat itulah
ia mulai membangun dinding transparan di antara keempat sahabatnya. ia bahkan
membuat jarak yang cukup jauh dari anak buahnya yang lain. berjaga-jaga dari
semua kemungkinan yang bisa terjadi. siapapun diantara mereka yang tersenyum
padanya, bisa saja sedang menyembunyikan belati dan bersiap menikamnya kapan
saja.
"Aoi, dia sudah datang."
sapaan Ruki seketika menguraikan isi pikirannya yang pekat.
dengan isyarat tangan ia menyuruh Ruki, membawa masuk orang yang dimaksud ke
dalam ruangannya. seorang laki-laki dengan T-shirt hitam memasuki ruangannya
dengan santai. ia terlihat begitu santainya dan mengacuhkan tatapan tak suka
dari beberapa orang di dalam ruangan itu.
"yo, Aoi san!"
Aoi menatap laki-laki dihadapannya dengan serius, "tak
perlu basa-basi, cepat laporkan hasil pekerjaanmu Juri."
laki-laki bernama Juri itu mengamati sekelilingnya, dan
kemudian tersenyum "aku hanya dibayar untuk mengatakan informasi ini
padamu, bukan pada banyak orang. ini informasi mahal, Aoi san."
Reita bangkit setelah mendengar apa yang dikatakan Juri. ia
melangkah keluar namun sudut matanya tak lepas dari sosok Juri yang balas
menatapnya dengan sebuah senyuman picik. disusul dengan Ruki dan Uruha, hingga
kini hanya ada mereka berdua dalam ruangan khusus itu.
Juri mengedarkan pandangannya, memastikan tak ada lagi orang
yang tersisa, "cara kerjanya sangat rapih, dan tersusun dengan pola yang
sangat aku kenali."
Aoi mulai menegakkan tubuhnya, "maksudmu?"
"hanya ada satu orang bisa bekerja dengan pola rumit
seperti itu. dia juga yang telah mengatur strategi dan sengaja menggiring anak
buahmu untuk melakukan transaksi di tempat yang ia inginkan. ia melakukan
semuanya tanpa kau sadari."
"bagaimana bisa? aku sendiri yang menentukan dimana
lokasi transaksi itu! aku bahkan tak pernah bicara pada siapapun kecuali anak
buahku yang benar-benar terikat denganku."
Juri tersenyum tipis, "begitukah? berarti kau tak perlu
jauh-jauh mencari tahu siapa Rosario."
Nama itu akhirnya muncul lagi, membuat darah Aoi mengalir
dengan cepat ke kepala. menimbulkan rasa sakit yang menyengat, "Rosario
lagi?! dia yang menggagalkan transaksiku kemarin? brengsek!! benar-benar
brengsek!!"
"tapi sebenarnya, yang menyadap, merakit bom, dan
merencanakan semua dengan pola yang kumaksud itu bukan Rosario. orang ini
bekerja untuk Rosario."
Aoi memegangi dahinya yang semakin terasa sakit,
"sudahlah Juri, jangan berbelit-belit!! kepalaku sakit mendengar nama itu
berulang kali!!"
"kazuki... dia yang mengatur semuanya, di bawah
perintah Rosario. Kazuki bukan anak buahmu yang terikat bukan? jadi ia tak
mungkin tahu semua bisnis dan urusanmu, jika tak ada yang memberi tahu. kau
mengerti maksudku 'kan?"
sepasang mata Aoi membulat sempurna. ia tentu tak asing
dengan nama itu. sejujurnya ia menaruh kepercayaan yang cukup besar dan
seketika rasa percaya itu runtuh mendengar semua penjelasan Juri. Aoi
mengepalkan tangannya erat, menahan desir amarahnya yang semakin mendesak.
"di mana dia sekarang?!" tanya Aoi dengan suara
yang lebih tinggi.
"terlambat, sehari setelah kematian Byo dia pergi
meninggalkan Tokyo bersama Yuuto. entah dimana dia sekarang."
Aoi meraih sebuah gelas wine di hadapannya lalu dengan
sekuat tenaga ia melemparkannya ke arah tembok hingga hancur. rasa kesal dan
kecewa dalam dadanya terasa begitu menyesakkan dan butuh penyaluran. sementara
Juri hanya menatap datar pada pecahan gelas yang kini berserakan di lantai.
"sepertinya memang tujuan terakhirnya adalah kau, Aoi
san. tapi mengapa ia tak segera membunuhmu setelah Byou? kenapa ia mengulur
waktu? semakin lama, jati dirinya bisa segera diketahui bukan?"
ruangan itu kembali sunyi, Aoi hanya memikirkan sendiri
semua pertanyaan Juri dalam benaknya. tak lama berselang wajah juri tampak
begitu kaget. setelah sadar dari lamunannya, saat itu juga pendengaran Aoi
mendengar suara gaduh dan beberapa kali terdengar suara letusan pistol yang
samar karena diberi peredam.
***********
suara langkahnya terdengar menggema di lorong. laki-laki
bertubuh tinggi itu kemudian berhenti di sebuah pintu bercat hitam. sosoknya
kemudian menghilang di balik pintu yang kemudian tertutup rapat.
di dalam ruangan yang remang itu ia menempatkan tubuhnya di
sebuah kursi coklat besar di balik meja kerja. ia kemudian menyandarkan
punggungnya, mata yang selalu tampak sendu itu kini terlihat lebih mendung.
suasana yang hening perlahan menuntun kelopak matanya untuk terpejam.
ruangan itu kembali sunyi, hanya terdengar suara detak jam
dinding. dalam matanya yang terpejam berselimut sunyi, hatinya berteriak keras
mengutuk takdir yang terasa begitu hina mempermainkan dirinya. semua yang ia
lakukan telah menjadikannya seseorang yang bahkan lebih rendah dari semua orang
yang dianggap musuh-musuhnya. ia menjelma menjadi sosok yang tak dikenalnya,
dan ia tak lebih baik dari semua orang yang hina dalam pandangannya. dalam rasa penat dan frustasi akan dirinya
sendiri kilasan-kilasan peristiwa sekian tahun silam justru berputar dalam
benaknya. bagai mimpi buruk yang menyeretnya dengan paksa ke dalam pusaran masa
lalu.
.
.
anak laki-laki kecil itu meraung disamping tubuh ayahnya
yang terdiam kaku dengan mata terbelalak. tangan kecilnya berusaha mengguncang
sosok ayahnya. dalam rasa takut dan bingungnya terdengar suara lirih memanggil
namanya. ia menoleh, melihat sosok wanita yang menjulurkan tangan ke arahnya.
"kaasan..."
ia bangkit dan bermaksud menghampiri ibunya. namun
langkahnya terhenti saat seorang laki-laki dengan jas hitam keluar dari ruangan
tempat dimana ibunya berada. tiga orang laki-laki bertubuh kekar keluar dari
ruang yang sama, mengiringi laki-laki yang keluar lebih dulu. sekilas ia
melihat, semua orang asing itu memiliki tatto yang sama di pergelangan tangan
kiri mereka. namun anak laki-laki itu tak peduli, ia kemudian berlari
menghampiri ibunya, memeluk dan mendekapnya dengan erat.
"kaasan..apa yang terjadi?! kaasan.. katakan
sesuatu..!!!" jerit anak laki-laki itu.
wanita itu berusaha tenang walau nafasnya mulai tersengal.
dengan sisa tenaga dan tarikan nafasnya yang terputus-putus, ia memandangi
wajah putranya, mengusap lembut pipinya yang telah basah oleh air mata.
"jangan kau bawa amarahmu hari ini.. lupakan.. kaasan,
tak ingin kau jadi seperti mereka.. berjanjilah.."
perhatian anak laki-laki itu sesaat tersita. ia melihat
seorang anak laki-laki lain yang sebaya dengan dirinya, berdiri dihadapannya dan
menatapnya dengan angkuh. sebuah revolver di tangannya, diarahkan tepat ke
kepala wanita yang tengah berjuang antara hidup dan matinya.
"jangan.. kumohon, jangan bunuh ibuku..."
permohonan itu tak ditanggapinya. anak laki-laki dengan
revolver di tangannya itu justru menoleh ke arah laki-laki berjas hitam yang
sedang menyaksikannya.
"Bunuh dia, Aoi!! buat aku bangga. jangan kau sisakan
rasa belas kasihan dalam hatimu! itu sama sekali tak berguna!!" perintah
laki-laki bernama Gackt itu telah begitu jelas. tanpa ragu anak laki-laki itu
menarik pelatuk pistolnya.
suara jeritan keras dan pilu terdengar menggema setelah
sebuah peluru melesat deras dari ujung revolver menembus kepala wanita itu.
meloloskan nyawanya seketika dalam waktu singkat. warna merah darah yang pekat
bercampur warna putih sel otak mengalir deras membasahi hampir seluruh tubuh
anak laki-laki yang sedang mendekapnya.
anak laki-laki itu kembali menjerit melepaskan amarahnya. ia
mendekap tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan lebih erat. tak rela bahwa
nyawa dari tubuh dalam dekapannya baru saja melepaskan tarikan nafas yang
terakhir.
salah satu laki-laki bertubuh tegap itu tiba-tiba
menyeretnya, menjauh dari jasad ibunya. ia berusaha memberontak namun sia-sia.
ia diseret keluar dari dalam rumahnya. ketiga laki-laki itu kemudian
menyiramkan bahan bakar dan kemudian membakar rumah beserta jasad kedua orang
tuanya. dalam malam yang pekat, nyala api yang berkobar-kobar itu terpantul ke
dalam matanya yang basah. ia kemudian menengadahkan kedua tangannya yang
benar-benar basah oleh darah kedua orang tuanya. tak ada yang bisa ia lakukan
selain menjerit meneriakkan rasa sakit dan tak rela dengan kematian orang
tuanya dan semua yang ia alami.
.
.
BRAKK!!
suara pintu yang didobrak paksa membuatnya tersentak. ketika
ia membuka mata, seseorang menodongkan sebuah
revolver ke arahnya. dengan cepat ia mengambil revolver dengan jenis
yang sama yang ada dibawah mejanya. detik berikutnya terdengar suara letusan senjata
yang terdengar nyaris bersamaan.
suara gaduh dari ruangan itu terdengar sampai di lantai
atas. beberapa orang segera bergerak menuju ruangan yang berada di lantai
bawah. Aoi kemudian sampai di ruangan itu bersama dengan Juri dan Aggy. Aoi
mengernyit melihat isi ruangan yang kacau. di beberapa tempat terdapat ceceran
darah, membentuk jejak yang kemudian mengarah ke pintu keluar dan hilang sama
sekali. yang semakin membuatnya terkejut, Aoi tak pernah tahu ruang di sudut
lantai bawah itu ternyata ada yang menggunakan.
Aggy kemudan mengambil secarik kertas yang tampak ditulis
dengan darah. ia lalu memberikannya temuannya kepada Aoi.
salju merah Shirakawa
darahmu atau uruha.
—Rosario
Aoi melumat kertas itu dalam genggamannya, "brengsek!!!
ia membawa Uruha?!!"
mimpi buruknya benar-benar jadi kenyataan sekarang. wajah
Aoi tampak memerah menahan amarah. raut wajahnya menunjukan ketegangan yang
luar biasa. ia tentu tak akan pernah melupakan Shirakawa. tempat di mana
pertama kalinya ia membunuh seseorang dengan disaksikan oleh ayahnya sendiri.
tempat yang menjadi kebanggaannya itu kini berbalik menjadi ancaman baginya.
"dimana yang lain? Kai, Ruki, Reita?" tanya Aoi
pada semua anak buahnya yang berkumpul disana.
Aggy kemudian menggeleng, "aku tak tahu. aku sedari
tadi hanya menunggu di depan ruanganmu dan tak tahu kemana mereka semua
pergi."
ia menarik nafasnya panjang, menjernihkan pikirannya untuk
sejenak. Aoi tampak sedikit lebih terkendali setelah berpikir tentang
Shirakawa, setidaknya ia tahu ke mana ia harus pergi.
To be continue...
maap lama apdet, mudah2an ga lupa ceritanya *plak
gomen juga lanjutannya dikit, datar, en ceritanya ga mutu
blass.. -__-")
apdet kilat, no edit, typo dimana-mana mungkin.
dan ternyata di luar dugaan saya yg jadi lebih dari 3
chapter.. DX
komen, kritik, saran, ditunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar