Duality of mind

Sabtu, 16 Juni 2012

Tittle : Rosario —Colour Me Blood— [Chap 3]



Tittle : Rosario —Colour Me Blood— [Chap 3]
Author : Shinji Ai
Rating : M
Genre : Angst, DarkFict, OOC, Shonen Ai/BL/Yaoi, Tragedy hurt
Fandom : the GazettE, Deluhi, ScReW.
Pair : Aoi x Uruha, Reita x Ruki, Kazuki x Yuuto
BGM : DAMNATION — Rentrer en soi
a/n : this fic bassed on Sadie song ‘Rosario’, but its difficult for me, to make it as Song Fic. =.=)a
please enjoy minna.. ^_^)


][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][ = ][


A week after Byou's death...

suasana tegang seolah tak pernah menguap dari tempat itu. Kematian Gackt, disusul beberapa peristiwa pembunuhan yang terjadi selanjutnya memaksa Aoi untuk lebih waspada. sejak Kai memberikan pendapatnya, saat itulah ia mulai membangun dinding transparan di antara keempat sahabatnya. ia bahkan membuat jarak yang cukup jauh dari anak buahnya yang lain. berjaga-jaga dari semua kemungkinan yang bisa terjadi. siapapun diantara mereka yang tersenyum padanya, bisa saja sedang menyembunyikan belati dan bersiap menikamnya kapan saja.

"Aoi, dia sudah datang."

sapaan Ruki seketika menguraikan isi pikirannya yang pekat. dengan isyarat tangan ia menyuruh Ruki, membawa masuk orang yang dimaksud ke dalam ruangannya. seorang laki-laki dengan T-shirt hitam memasuki ruangannya dengan santai. ia terlihat begitu santainya dan mengacuhkan tatapan tak suka dari beberapa orang di dalam ruangan itu.

"yo, Aoi san!"

Aoi menatap laki-laki dihadapannya dengan serius, "tak perlu basa-basi, cepat laporkan hasil pekerjaanmu Juri."

laki-laki bernama Juri itu mengamati sekelilingnya, dan kemudian tersenyum "aku hanya dibayar untuk mengatakan informasi ini padamu, bukan pada banyak orang. ini informasi mahal, Aoi san."

Reita bangkit setelah mendengar apa yang dikatakan Juri. ia melangkah keluar namun sudut matanya tak lepas dari sosok Juri yang balas menatapnya dengan sebuah senyuman picik. disusul dengan Ruki dan Uruha, hingga kini hanya ada mereka berdua dalam ruangan khusus itu. 

Juri mengedarkan pandangannya, memastikan tak ada lagi orang yang tersisa, "cara kerjanya sangat rapih, dan tersusun dengan pola yang sangat aku kenali."

Aoi mulai menegakkan tubuhnya, "maksudmu?"

"hanya ada satu orang bisa bekerja dengan pola rumit seperti itu. dia juga yang telah mengatur strategi dan sengaja menggiring anak buahmu untuk melakukan transaksi di tempat yang ia inginkan. ia melakukan semuanya tanpa kau sadari."

"bagaimana bisa? aku sendiri yang menentukan dimana lokasi transaksi itu! aku bahkan tak pernah bicara pada siapapun kecuali anak buahku yang benar-benar terikat denganku."

Juri tersenyum tipis, "begitukah? berarti kau tak perlu jauh-jauh mencari tahu siapa Rosario."

Nama itu akhirnya muncul lagi, membuat darah Aoi mengalir dengan cepat ke kepala. menimbulkan rasa sakit yang menyengat, "Rosario lagi?! dia yang menggagalkan transaksiku kemarin? brengsek!! benar-benar brengsek!!"

"tapi sebenarnya, yang menyadap, merakit bom, dan merencanakan semua dengan pola yang kumaksud itu bukan Rosario. orang ini bekerja untuk Rosario."

Aoi memegangi dahinya yang semakin terasa sakit, "sudahlah Juri, jangan berbelit-belit!! kepalaku sakit mendengar nama itu berulang kali!!"

"kazuki... dia yang mengatur semuanya, di bawah perintah Rosario. Kazuki bukan anak buahmu yang terikat bukan? jadi ia tak mungkin tahu semua bisnis dan urusanmu, jika tak ada yang memberi tahu. kau mengerti maksudku 'kan?"

sepasang mata Aoi membulat sempurna. ia tentu tak asing dengan nama itu. sejujurnya ia menaruh kepercayaan yang cukup besar dan seketika rasa percaya itu runtuh mendengar semua penjelasan Juri. Aoi mengepalkan tangannya erat, menahan desir amarahnya yang semakin mendesak.

"di mana dia sekarang?!" tanya Aoi dengan suara yang lebih tinggi.

"terlambat, sehari setelah kematian Byo dia pergi meninggalkan Tokyo bersama Yuuto. entah dimana dia sekarang."

Aoi meraih sebuah gelas wine di hadapannya lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkannya ke arah tembok hingga hancur. rasa kesal dan kecewa dalam dadanya terasa begitu menyesakkan dan butuh penyaluran. sementara Juri hanya menatap datar pada pecahan gelas yang kini berserakan di lantai.

"sepertinya memang tujuan terakhirnya adalah kau, Aoi san. tapi mengapa ia tak segera membunuhmu setelah Byou? kenapa ia mengulur waktu? semakin lama, jati dirinya bisa segera diketahui bukan?"

ruangan itu kembali sunyi, Aoi hanya memikirkan sendiri semua pertanyaan Juri dalam benaknya. tak lama berselang wajah juri tampak begitu kaget. setelah sadar dari lamunannya, saat itu juga pendengaran Aoi mendengar suara gaduh dan beberapa kali terdengar suara letusan pistol yang samar karena diberi peredam.


***********


suara langkahnya terdengar menggema di lorong. laki-laki bertubuh tinggi itu kemudian berhenti di sebuah pintu bercat hitam. sosoknya kemudian menghilang di balik pintu yang kemudian tertutup rapat.
di dalam ruangan yang remang itu ia menempatkan tubuhnya di sebuah kursi coklat besar di balik meja kerja. ia kemudian menyandarkan punggungnya, mata yang selalu tampak sendu itu kini terlihat lebih mendung. suasana yang hening perlahan menuntun kelopak matanya untuk terpejam.

ruangan itu kembali sunyi, hanya terdengar suara detak jam dinding. dalam matanya yang terpejam berselimut sunyi, hatinya berteriak keras mengutuk takdir yang terasa begitu hina mempermainkan dirinya. semua yang ia lakukan telah menjadikannya seseorang yang bahkan lebih rendah dari semua orang yang dianggap musuh-musuhnya. ia menjelma menjadi sosok yang tak dikenalnya, dan ia tak lebih baik dari semua orang yang hina dalam pandangannya.  dalam rasa penat dan frustasi akan dirinya sendiri kilasan-kilasan peristiwa sekian tahun silam justru berputar dalam benaknya. bagai mimpi buruk yang menyeretnya dengan paksa ke dalam pusaran masa lalu.

.

.

anak laki-laki kecil itu meraung disamping tubuh ayahnya yang terdiam kaku dengan mata terbelalak. tangan kecilnya berusaha mengguncang sosok ayahnya. dalam rasa takut dan bingungnya terdengar suara lirih memanggil namanya. ia menoleh, melihat sosok wanita yang menjulurkan tangan ke arahnya.

"kaasan..."

ia bangkit dan bermaksud menghampiri ibunya. namun langkahnya terhenti saat seorang laki-laki dengan jas hitam keluar dari ruangan tempat dimana ibunya berada. tiga orang laki-laki bertubuh kekar keluar dari ruang yang sama, mengiringi laki-laki yang keluar lebih dulu. sekilas ia melihat, semua orang asing itu memiliki tatto yang sama di pergelangan tangan kiri mereka. namun anak laki-laki itu tak peduli, ia kemudian berlari menghampiri ibunya, memeluk dan mendekapnya dengan erat.

"kaasan..apa yang terjadi?! kaasan.. katakan sesuatu..!!!" jerit anak laki-laki itu.

wanita itu berusaha tenang walau nafasnya mulai tersengal. dengan sisa tenaga dan tarikan nafasnya yang terputus-putus, ia memandangi wajah putranya, mengusap lembut pipinya yang telah basah oleh air mata.

"jangan kau bawa amarahmu hari ini.. lupakan.. kaasan, tak ingin kau jadi seperti mereka.. berjanjilah.."

perhatian anak laki-laki itu sesaat tersita. ia melihat seorang anak laki-laki lain yang sebaya dengan dirinya, berdiri dihadapannya dan menatapnya dengan angkuh. sebuah revolver di tangannya, diarahkan tepat ke kepala wanita yang tengah berjuang antara hidup dan matinya.

"jangan.. kumohon, jangan bunuh ibuku..."

permohonan itu tak ditanggapinya. anak laki-laki dengan revolver di tangannya itu justru menoleh ke arah laki-laki berjas hitam yang sedang menyaksikannya.

"Bunuh dia, Aoi!! buat aku bangga. jangan kau sisakan rasa belas kasihan dalam hatimu! itu sama sekali tak berguna!!" perintah laki-laki bernama Gackt itu telah begitu jelas. tanpa ragu anak laki-laki itu menarik pelatuk pistolnya.

suara jeritan keras dan pilu terdengar menggema setelah sebuah peluru melesat deras dari ujung revolver menembus kepala wanita itu. meloloskan nyawanya seketika dalam waktu singkat. warna merah darah yang pekat bercampur warna putih sel otak mengalir deras membasahi hampir seluruh tubuh anak laki-laki yang sedang mendekapnya.
anak laki-laki itu kembali menjerit melepaskan amarahnya. ia mendekap tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan lebih erat. tak rela bahwa nyawa dari tubuh dalam dekapannya baru saja melepaskan tarikan nafas yang terakhir.

salah satu laki-laki bertubuh tegap itu tiba-tiba menyeretnya, menjauh dari jasad ibunya. ia berusaha memberontak namun sia-sia. ia diseret keluar dari dalam rumahnya. ketiga laki-laki itu kemudian menyiramkan bahan bakar dan kemudian membakar rumah beserta jasad kedua orang tuanya. dalam malam yang pekat, nyala api yang berkobar-kobar itu terpantul ke dalam matanya yang basah. ia kemudian menengadahkan kedua tangannya yang benar-benar basah oleh darah kedua orang tuanya. tak ada yang bisa ia lakukan selain menjerit meneriakkan rasa sakit dan tak rela dengan kematian orang tuanya dan semua yang ia alami.

.

.

BRAKK!!

suara pintu yang didobrak paksa membuatnya tersentak. ketika ia membuka mata, seseorang menodongkan sebuah  revolver ke arahnya. dengan cepat ia mengambil revolver dengan jenis yang sama yang ada dibawah mejanya. detik berikutnya terdengar suara letusan senjata yang terdengar nyaris bersamaan.

suara gaduh dari ruangan itu terdengar sampai di lantai atas. beberapa orang segera bergerak menuju ruangan yang berada di lantai bawah. Aoi kemudian sampai di ruangan itu bersama dengan Juri dan Aggy. Aoi mengernyit melihat isi ruangan yang kacau. di beberapa tempat terdapat ceceran darah, membentuk jejak yang kemudian mengarah ke pintu keluar dan hilang sama sekali. yang semakin membuatnya terkejut, Aoi tak pernah tahu ruang di sudut lantai bawah itu ternyata ada yang menggunakan.

Aggy kemudan mengambil secarik kertas yang tampak ditulis dengan darah. ia lalu memberikannya temuannya kepada Aoi.

salju merah Shirakawa
darahmu atau uruha.
—Rosario

Aoi melumat kertas itu dalam genggamannya, "brengsek!!! ia membawa Uruha?!!"
mimpi buruknya benar-benar jadi kenyataan sekarang. wajah Aoi tampak memerah menahan amarah. raut wajahnya menunjukan ketegangan yang luar biasa. ia tentu tak akan pernah melupakan Shirakawa. tempat di mana pertama kalinya ia membunuh seseorang dengan disaksikan oleh ayahnya sendiri. tempat yang menjadi kebanggaannya itu kini berbalik menjadi ancaman baginya.

"dimana yang lain? Kai, Ruki, Reita?" tanya Aoi pada semua anak buahnya yang berkumpul disana.

Aggy kemudian menggeleng, "aku tak tahu. aku sedari tadi hanya menunggu di depan ruanganmu dan tak tahu kemana mereka semua pergi."

ia menarik nafasnya panjang, menjernihkan pikirannya untuk sejenak. Aoi tampak sedikit lebih terkendali setelah berpikir tentang Shirakawa, setidaknya ia tahu ke mana ia harus pergi.


To be continue...





maap lama apdet, mudah2an ga lupa ceritanya *plak
gomen juga lanjutannya dikit, datar, en ceritanya ga mutu blass.. -__-")
apdet kilat, no edit, typo dimana-mana mungkin.
dan ternyata di luar dugaan saya yg jadi lebih dari 3 chapter.. DX
komen, kritik, saran, ditunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar