Tittle : Rosario —Colour Me Blood— [Chap 4]
Author : Shinji Ai
Rating : M
Genre : Angst, DarkFict, OOC, Shonen Ai/BL/Yaoi, Tragedy
hurt
Fandom : the GazettE, Deluhi, ScReW.
Pair : Aoi x Uruha, Reita x Ruki, Kazuki x Yuuto
BGM : SCREW - Dust box
a/n : this fic bassed on Sadie song ‘Rosario’, but its
difficult for me, to make it as Song Fic. =.=)a
please enjoy minna.. ^_^)
======
angin dingin berhembus cukup kuat menerpa tubuhnya.
butiran-butiran berwarna putih melayang turun dalam jumlah banyak, membuat
pemdandangan sekilas tampak indah. Aoi tersenyum getir menatap butiran-butiran
salju yang melayang. salju itu sebentar lagi akan berubah merah, gumamnya dalam
hati. dari kejauhan telah tampak sebuah rumah kayu di pegunungan Ryohaku,
tempat Rosario berada.
suara decitan pintu membuat Uruha terbangun. lantai kayu di
bawah kakinya adalah pemandangan pertama yang dilihat saat pertama kali membuka
matanya. rasa sakit dan ngilu perlahan menjalari tubuhnya saat ia mulai
mendapatkan kesadaran sepenuhnya. laki-laki itu mengangkat wajahnya, menatap
tempat sekelilingnya.
hanya ruangan cukup luas dan berdinding kayu, dan dirinya
berada tepat di tengah ruang itu. duduk dengan tubuh terikat di sebuah kursi,
dan mulutnya yang ditutup dengan sebuah plester hitam. Uruha menggeliat,
berusaha melonggarkan ikatan di tubuhnya. namun sia-sia, tubuhnya terasa sakit
di beberapa bagian saat ia berusaha bergerak sedikit demi sedikit.
"sudah sadar, rupanya.." Laki-laki itu berjalan
mendekat ke arahnya dengan tersenyum.
kedua mata uruha membulat, ia kembali memberontak dan
menggumam, entah apa yang sedang diteriakkannya. namun laki-laki itu justru
tersenyum semakin lebar.
"tenanglah Uruha, Aoimu sudah datang. dan sebentar lagi
kau akan melihat, apa yang seharusnya kau lihat." bisikan laki-laki itu di
telinga uruha, membuatnya risih. tak ada yang bisa ia lakukan selain menatapnya
dengan tajam, saat laki-laki itu membelai sisi wajah uruha dengan lembut.
"dari tatapanmu sepertinya kau bertanya-tanya, kenapa
aku melakukan ini kan?" ia menatap lekat-lekat sepasang mata uruha.
"aku benci... melihat kau tersakiti, Shima chan. aku mencintaimu."
tatapan Uruha saat itu menunjukan betapa ia sangat terkejut dengan laki-laki di
hadapannya ini. "kau tahu, betapa aku tersiksa melihatmu menderita seorang
diri. sementara aku hanya bisa menatapmu dari sisi yang kau tak pernah sadari.
tak ada yang bisa aku lakukan untuk menarikmu dari kegelapan, Uruha.."
tatapan Uruha yang semula tajam kini melembut saat laki-laki
itu menjauhkan wajahnya. kedua sudut matanya mulai basah setelah sekian lama
mengering. air mata yang menggenang di pelupuk matanya akhirnya luruh. laki-laki itu membungkukan tubuhnya.
mensejajarkan wajahnya dengan uruha.
jemarinya kembali mengusap sisi-sisi wajah Uruha, menyeka dengan lembut
air mata dari wajah Uruha. tiba-tiba
pintu di ruangan itu terbuka. Uruha yang berseberangan dengan pintu bisa
melihat sosok Aoi yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Uruha..!!" Aoi setengah berteriak memanggil
namanya. tatapan matanya kemudian beralih pada sosok pria yang berdiri
membelakanginya, “tunjukan dirimu pecundang!!”
sebelah sudut bibirnya tertarik, laki-laki itu dengan jelas dapat merasakan
rasa takut dari teriakan Aoi tadi.
dengan perlahan ia membalikkan tubuhnya, membiarkan Aoi menuntaskan rasa
penasarannya. ia tersenyum sinis saat sepasang mata Aoi tampak terbelalak
melihat dirinya. rasanya ia tak butuh pemenang dalam permainan ini. baginya,
ekspresi Aoi saat itu sudah merupakan suatu kemenangan yang telak baginya.
"keparat kau!! apa maksudmu melakukan semua ini?!"
Aoi menghardik laki-laki dihadapannya, sambil mengarahkan revolvernya tepat ke
arah laki-laki yang sedang tersenyum menghinanya itu. "lepaskan
uruha!!"
laki-laki itu tersenyum sinis, "aku kira, Kai sudah
memperingatkanmu dengan baik. tapi sepertinya memang kau yang terlalu bodoh,
Aoi. harus kukatakan, kau dan Gackt sama berbeda jauh. kau tak pantas menjadi
pemimpin Yakuza, menggantikan ayahmu."
"aku tak butuh omong kosongmu, pecundang!! lepaskan
Uruha sekarang juga!!"
"tidak, sebelum aku melihat darahmu menggenang dan
mewarnai salju di Shirakawa ini."
laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dari dalam
sakunya. diarahkannya mata pisau itu ke leher Uruha, sementara sebelah
tangannya menggenggam erat Baretta yang diarahkannya tepat ke arah Aoi.
revolver di genggaman Aoi tampak bergetar, seluruh amarahnya
seolah terkumpul di ujung tangannya. “cih, benar-benar brengsek kau, Reita!!”
Reita hanya menanggapinya dengan senyum melecehkan, "aku
ingin sedikit bermain-main, bagaimana kalau kita buat kesepakatan?! aku akan
melepaskan satu persatu ikatan Uruha, namun dengan sebuah jaminan." senyum
sarkatis kembali menghiasi wajahnya.
"apa maksudmu?"
"satu ikatan yang kubuka, sama dengan satu peluru yang
bersarang di tubuhmu!"
tanpa memberi peringatan Reita segera menarik pelatuk
revolvernya. beruntung Aoi segera berbalik dan menyembunyikan tubuhnya di balik
dinding, hingga peluru itu tak jadi menembus tubuhnya. suara derap langkah
terdengar menjauh setelah itu. membuat Reita berdecak kesal,
“ck, !! kau yang pengecut Aoi!!”
Reita membuang pisau di tangannya, dan meninggalkan ruangan
itu untuk mengejar Aoi. dengan nafas
memburu ia mempercepat langkahnya. dengan cermat ia perhatikan jejak-jejak di
lantai kayu, dan mengikutinya. namun tiba-tiba jejak itu menghilang. belum
sempat berpikir, sebuah suara letupan pistol memberondongnya dari arah
belakang. Reita segera berguling dan menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah
sofa. tanpa melihat, reita membalas tembakan-tembakan itu. ia hanya
mengandalkan pendengarannya dan instingnya sebagai seorang pembunuh.
hujan peluru yang membabi buta, meluluh lantakan seluruh isi
ruangan. beberapa hiasan jatuh dan sebuah figura tampak hancur dengan pecahan
kaca yang bertebaran. keadaan itu sempat bertahan beberapa detik sampai
terdengar suara erangan, yang seketika menghentikan hujan peluru itu.
dengan hati-hati Reita mengintip dari pinggir sofa.
dilihatnya revolver milik Aoi yang sudah terlempar, dan darah yang perlahan
mulai menggenang. Reita memberanikan diri keluar dari persembunyiannya, dan
kemudian menghampiri Aoi yang terduduk. nafasnya tampak terengah dengan
keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.
“hah, kena juga!! aku bahkan tak melihat saat menembakmu
tadi!! kau benar-benar pecundang Aoi!!”
Reita tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Aoi yang begitu
menyedihkan dimatanya. tanpa sepengetahuan Reita, Aoi mulai mengeluarkan sebuah
pecahan kaca dari figura yang terjatuh. dengan gerakan cepat ia menyabet
pecahan kaca itu ke arah kedua kaki Reita.
pecahan kaca itu menyayat kedua kakinya sekaligus, dan dengan jarak yang
cukup dekat pecahan kaca itu tah hanya menyayat bagian kulit, namun hingga
tembus ke otot halus di betisnya.
seketika tubuh Reita ambruk, dan ia mengerang cukup keras
merasakan perih dan ngilu hebat di kedua kakinya. jerit kesakitan Reita tak
berhenti sampai disitu. Aoi dengan cepat mengambil serpihan-serpihan kaca yang
lain dan menusukkannya di kaki-kaki Reita. Aoi membenamkan serpihan kaca itu
sedalam-dalamnya di kaki reita, hingga menembus ked aging dan otot-otot halus
di kakinya. Reita semakin menggelepar
menahan sakit yang bertubi-tubi menyiksanya.
di tengah rasa sakit yang menghujamnya, ia masih berusaha menggapai
barretanya yang terlempar cukup jauh.
merasa tak cukup, Aoi kemudian bangkit dan menghajar wajah
reita dengan kepalan tangannya. terus bertubi-tubi mendaratkan kepalan
tangannya di wajah laki-laki itu. darah kemudian mengalir deras dari hidung dan
mulut reita.
Tittle : Rosario —Colour Me Blood— [Chap 4]
Author : Shinji Ai
Rating : M
Genre : Angst, DarkFict, Romance, OOC, Shonen Ai/BL/Yaoi,
Tragedy hurt.
Fandom : the GazettE.
Pair : Aoi x Uruha, and one secret pairing, find out by
yourself! *ditabok reader*
BGM : SCREW - Dust box, Rentrer en soi - I hate myself and
want to die
a/n : this fic bassed on Sadie song ‘Rosario’, but its
difficult for me, to make it as Song Fic. =.=)a
please enjoy minna.. ^_^)
======
Even if I'm reborn, I will be closer at your side than
anybody else For eternity, forever...
][ ~ ][ ~ ][ ~ ][ ~ ][ ~ ][ ~ ][ ~ ][
suara decitan pintu membuat Uruha terbangun. lantai kayu di
bawah kakinya adalah pemandangan pertama yang dilihat saat pertama kali membuka
matanya. rasa sakit dan ngilu perlahan menjalari tubuhnya saat ia mulai
mendapatkan kesadaran sepenuhnya. laki-laki itu mengangkat wajahnya, menatap
tempat sekelilingnya berada.
hanya ruangan tak begitu luas berdinding kayu, dan dirinya
berada tepat di tengah ruang itu. duduk dengan tubuh terikat di sebuah kursi,
dan mulutnya yang ditutup dengan sebuah plester hitam. Uruha menggeliat,
berusaha melonggarkan ikatan di tubuhnya. namun sia-sia, tubuhnya terasa sakit
di beberapa bagian saat ia berusaha bergerak sedikit demi sedikit.
"sudah sadar, rupanya.." Laki-laki itu berjalan
mendekat ke arahnya dengan tersenyum.
kedua mata uruha membulat, ia kembali memberontak dan
menggumam, entah apa yang sedang diteriakkannya. namun laki-laki itu justru
tersenyum semakin lebar.
"tenanglah Uruha, Aoimu sudah datang. dan sebentar lagi
kau akan melihat, apa yang seharusnya kau lihat." bisikan laki-laki itu di
telinga uruha, membuatnya risih. tak ada yang bisa ia lakukan selain menatapnya
dengan tajam, saat laki-laki itu membelai sisi wajah uruha dengan lembut.
"dari tatapanmu sepertinya kau bertanya-tanya, kenapa
aku melakukan ini kan?" ia menatap lekat-lekat sepasang mata uruha.
"benci!! aku benci... melihat kau tersakiti, Shima. aku mencintaimu."
tatapan Uruha saat itu menunjukan betapa ia sangat terkejut dengan ucapan
laki-laki di hadapannya ini. "kau tahu, betapa aku tersiksa melihatmu
menderita seorang diri. sementara aku hanya bisa menatapmu dari sisi yang kau
tak pernah sadari. tak ada yang bisa aku lakukan untuk menarikmu dari
kegelapan, Shima.."
tatapan Uruha yang semula tajam kini melembut saat laki-laki
itu menjauhkan wajahnya. kedua sudut matanya mulai basah setelah sekian lama
mengering. air mata yang menggenang di pelupuk matanya akhirnya luruh. laki-laki itu membungkukan tubuhnya.
mensejajarkan wajahnya dengan uruha.
jemarinya kembali mengusap sisi-sisi wajah Uruha, menyeka dengan lembut
dan penuh rasa sayang, air mata yang berlinangan dari wajah Uruha. tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Uruha
yang berseberangan dengan pintu bisa melihat sosok Aoi yang tengah berdiri di
ambang pintu.
"Uruha..!!" Aoi setengah berteriak memanggil
namanya. tatapan matanya kemudian beralih pada sosok pria yang berdiri
membelakanginya, “tunjukan dirimu pecundang!!”
sebelah sudut bibirnya tertarik, laki-laki itu dengan jelas dapat merasakan
rasa takut dari teriakan Aoi tadi.
dengan perlahan ia membalikkan tubuhnya, membiarkan Aoi menuntaskan rasa
penasarannya. ia tersenyum sinis saat sepasang mata Aoi tampak terbelalak
melihat dirinya. rasanya ia tak butuh pemenang dalam permainan ini. baginya,
ekspresi Aoi saat itu sudah merupakan suatu kemenangan yang telak baginya.
"keparat kau!! apa maksudmu melakukan semua ini?!"
Aoi menghardik laki-laki dihadapannya, sambil mengarahkan revolvernya tepat ke
arah laki-laki yang sedang tersenyum menghinanya itu. "lepaskan
uruha!!"
laki-laki itu tersenyum sinis, "aku kira, Kai sudah
memperingatkanmu dengan baik. tapi sepertinya memang kau yang terlalu bodoh,
Aoi. harus kukatakan, kau dan Gackt sama berbeda jauh. kau tak pantas menjadi
pemimpin Yakuza, menggantikan ayahmu."
"aku tak butuh omong kosongmu, pecundang!! lepaskan
Uruha sekarang juga!!"
"tidak, sebelum aku melihat darahmu menggenang dan
mewarnai salju di Shirakawa ini."
tangan kiri laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat
dari dalam sakunya. diarahkannya mata pisau itu ke leher Uruha, sementara
sebelah tangannya menggenggam erat Revolver yang diarahkannya tepat ke arah
Aoi.
revolver di genggaman Aoi tampak bergetar, seluruh amarahnya
seolah terkumpul di ujung tangannya. “cih, benar-benar brengsek kau, Reita!!”
Reita hanya menanggapinya dengan senyum melecehkan,
"aku ingin sedikit bermain-main, bagaimana kalau kita buat kesepakatan?!
aku akan melepaskan satu persatu ikatan Uruha, namun dengan sebuah
jaminan." senyum sarkatis kembali menghiasi wajahnya.
"apa maksudmu?"
"satu ikatan yang kubuka, sama dengan satu peluru yang
bersarang di tubuhmu!"
tanpa memberi peringatan Reita segera menarik pelatuk
Revolvernya. beruntung Aoi segera berbalik dan menyembunyikan tubuhnya di balik
dinding, hingga peluru itu tak jadi menembus tubuhnya. suara derap langkah
yang terdengar menjauh setelah itu,
membuat Reita berdecak kesal.
“ck,!! kau yang pengecut Aoi!!”
Reita membuang pisau di tangannya itu ke lantai, dan
meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Aoi.
dengan nafas memburu ia mempercepat langkahnya. sepasang matanya
memindai dengan cermat jejak-jejak di lantai kayu, dan mengikutinya. namun
tiba-tiba jejak itu menghilang. belum sempat berpikir, sebuah suara letupan
pistol memberondongnya dari arah belakang. Reita segera berguling dan
menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah sofa. tanpa melihat, reita membalas
tembakan-tembakan itu. ia hanya mengandalkan pendengaran dan instingnya sebagai
seorang pembunuh.
hujan peluru yang membabi buta, meluluh lantakan seluruh isi
ruangan. beberapa hiasan jatuh dan sebuah figura tampak hancur dengan pecahan
kaca yang bertebaran. keadaan itu sempat bertahan beberapa detik sampai terdengar
suara erangan, yang seketika menghentikan hujan peluru di ruangan itu.
dengan hati-hati Reita mengintip dari pinggir sofa.
dilihatnya revolver milik Aoi yang sudah terlempar, dan darah yang perlahan
mulai menggenang. Reita memberanikan diri keluar dari persembunyiannya, dan
kemudian menghampiri Aoi yang terduduk dengan luka di kakinya. nafasnya tampak
terengah dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.
“hah, kena juga!! aku bahkan tak melihat saat menembakmu
tadi!! kau benar-benar pecundang Aoi!!”
Reita tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Aoi yang begitu
menyedihkan dimatanya. tanpa sepengetahuan Reita, Aoi mulai mengeluarkan sebuah
pecahan kaca dari figura yang terjatuh. dengan gerakan cepat ia menyabet
pecahan kaca itu ke arah kedua kaki Reita.
pecahan kaca itu menyayat kedua kakinya sekaligus, dan dengan jarak yang
cukup dekat pecahan kaca itu tak hanya menyayat bagian kulit, namun hingga
tembus ke otot halus di betisnya.
seketika tubuh Reita ambruk, ia mengerang keras merasakan
perih dan ngilu hebat di kedua kakinya. jerit kesakitan Reita tak berhenti
sampai disitu. Aoi dengan cepat mengambil serpihan-serpihan kaca yang lain dan
menusukkannya di kaki-kaki Reita. Aoi membenamkan serpihan kaca itu
sedalam-dalamnya di kaki reita, hingga menembus ke daging dan otot-otot halus
kakinya. Reita semakin menggelepar menahan sakit saat kulit dan dagingnya
terkoyak-koyak oleh pecahan kaca. di tengah rasa sakit yang bertubi-tubi
menghujamnya, ia masih berusaha menggapai Revolvernya yang terlempar cukup
jauh.
belum sempat tangannya menggapai revolver miliknya, sosok
Aoi yang ternyata masih bisa berdiri, menyeringai licik dihadapannya. Aoi
menginjak tangan Reita yang berusaha menggapai Revolver, ia menginjaknya dengan
penuh tekanan hingga menimbulkan bunyi gemeretak tulang-tulang patah dari
tangan Reita. merasa tak cukup, Aoi kemudian mengangkat Reita dengan menarik
kerah bajunya. tanpa ampun Aoi menghajar wajah reita dengan kepalan tangannya.
ia terus bertubi-tubi mendaratkan kepalan tangannya di wajah laki-laki itu.
darah kemudian mengalir deras dari hidung dan mulut reita.
"masih bisa kau tersenyum merendahkan aku seperti tadi,
hah??!! masih bisa??!!" Aoi kembali menghajar Reita yang bahkan sudah
kesulitan untuk bernafas. "aku tak bodoh, heh!! kau tau??! pelurumu itu
hanya mengenai kakiku, tapi tak tepat sasaran!! aku sengaja melakukannya untuk
memancingmu, sialan!!" dengan keras Aoi membenturkan kepala Reita ke
tembok, lalu membiarkan laki-laki itu tersungkur.
saat Aoi menjauh, ia melihat reita tampak tersenyum dan
hampir tertawa walau dengan wajah bersimbah darah seperti itu. seolah ia begitu
menikmati penderitaan yang sedang dialaminya. tawanya dengan nafas yang
terputus itu makin membuat Aoi emosi, diambilnya revolver yang tergeletak tak
jauh dari kakinya. dua tembakan tepat diarahkannya ke perut Reita. ia sengaja
tak menembak bagian vital, karena Aoi ingin Reita mati perlahan-lahan.
mata Reita terpejam menahan sakit saat peluru itu melesak
masuk ke dalam perutnya. ia dapat merasakan sendiri darahnya yang mengalir dari
dua lubang peluru di perutnya. perlahan kelopak matanya membuka, bersamaan
dengan luruh air matanya.
"aku puas..." bisiknya lirih, "aku puas
mencintainya dengan segenap rasa sakit.." lanjutnya dengan suara yang
nyaris tak terdengar.
"bicara apa kau hah??!! Rosario sial!! tak akan ada
lagi kebanggaan atas nama Rosario!! Rosario menjemput kematiannya di
tanganku—"
Aoi mendadak berhenti bicara. ia merasakan sakit di tengah
dadanya. ia meraba bagian dadanya, dan sebuah cairan kental terasa membasahi
tangannya. darah!! ada darah yang mengalir deras dari sebuah lubang peluru di
dadanya. Aoi menoleh ke arah samping. sosok Uruha dengan tatapan dingin dan
revolver di tangannya terpantul di mata Aoi. Uruha mendekat dengan terus
menekan pelatuk revolvernya berkali-kali. menyarangkan peluru-peluru peraknya
di tubuh Aoi. tubuh Aoi tersentak, dan mundur beberapa langkah hingga tubuhnya
bersandar di tembok. kedua kakinya terasa tak sanggup menopang berat tubuhnya,
ia perlahan terduduk dengan bersandar tembok.
Uruha melakukan sama seperti yang Aoi lakukan pada Reita.
walau tembakannya terkesan tak berarah, namun Uruha tak menyentuh sama sekali
bagian vital di tubuh Aoi. membiarkannya mati perlahan.
dengan hati-hati Uruha meletakan tubuh Reita yang sudah tak
berdaya di pangkuannya. ia mendekap tubuh teman masa kecilnya itu dengan begitu
erat. "Rei..!! maafkan aku!!" Uruha terisak sambil terus memeluk
Reita. "ue bodoh!! tak harusnya kau lakukan ini semua, kenapa tak kau
katakan sejak awal dirimu sebenarnya?! untuk apa melindungiku hah?!"
dengan tatapan yang begitu tegar, Uruha menatap Reita. namun nyatanya air mata
itu tetap mengalir dari kedua sudut mata hazzelnya, tampak kontras dengan
ekspresi Uruha yang tetap kukuh. bagaimanapun, Reita adalah satu-satunya teman
masa kecil Uruha, yang sangat berharga baginya.
laki-laki yang tengah dalam sekarat itu tersenyum menyambut
jemari Uruha yang mengusap lembut wajahnya, menyeka darah yang mengalir dan
membasahi wajahnya, "sudah kubilang... aku mencintaimu 'kan, Shima? aku
ingin kau.. berhenti mengotori tanganmu..." Reita mengambil nafas sebelum
melanjutkan kalimatnya, "jika aku terlahir kembali... aku akan berada
dekat denganmu... lebih dari siapapun, selamanya... melindungimu lagi..
shima.."
"lalu ruki??!!"
Reita hanya menggeleng perlahan menjawab pertanyaan itu. ia
tak punya cukup banyak waktu untuk menjelaskannya. Ruki memang orang yang ada
dihatinya, namun tak pernah menggantikan tempat Uruha.
setetes embun tampak mengalir dari salah satu sudut mata
Uruha yang terpejam. menahan perasaan sakit yang perlahan menyelinap dalam hatinya, menyaksikan Reita
yang terbata mengucapkan janji dalam tarikan nafasnya yang terakhir. janji
untuk melindunginya. Uruha mendekatkan wajahnya, mengecup lembut bibir Reita.
darah dan air mata mengalir jadi satu saat bibir mereka saling bertaut untuk
yang pertama dan terakhir kalinya. Uruha merasakan hembusan terakhir nafas
Reita yang hangat, ia pun perlahan merasakan suhu tubuh Reita yang mulai turun,
dan bibirnya yang perlahan kaku dalam kecupannya.
ia menjauhkan wajahnya, menatap Reita yang tampak terpejam
dengan damai dalam pangkuannya. "aishiteru mo.. Rei.."
apa yang dilihatnya terasa begitu menyakitkan bagi Aoi,
bahkan mengalahkan rasa sakit yang sesaat lalu mendera tubuhnya.
"Uru..."
Uruha terkesiap mendengar suara Aoi yang memanggil namanya
lirih. laki-laki berparas cantik itu memandang Aoi dengan begitu tajam,
"kau ingat saat pertama kali kau membunuh seseorang, di Shirakawa?"
tanyanya dengan nada yang begitu tajam. "ingatkah saat kau memandangku
dengan begitu rendah saat itu?! aku yang meminta belas kasihan padamu
brengsek!! aku..!!! itu aku!!!" Uruha menjerit, melepaskan emosinya yang
tertahan sejak bertahun-tahun lalu.
ekspresi wajah Uru yang begitu emosi beberapa detik lalu,
kini mendadak hilang. tak ada rona apapun dalam tatapannya yang kini datar dan
dingin, "sejak hari itu, aku putuskan untuk membunuh perasaanku.
membiarkan dendam menuntunku dalam kegelapan. akulah, Rosario yang kau cari,
bukan Reita."
jantung Aoi seolah berhenti. apa yang ia rasakan saat ini,
mungkin Uruha sudah tak akan memperdulikannya lagi. Jika Uruha hendak
menghancurkannya melalui perasaannya, ia sudah melakukannya. Perasaan Aoi untuk
Uruha lebih dalam dari yang tampak. ia bahkan tak berani menyakiti Uruha
seujung kuku sekalipun. namun mengetahui fakta dirinyalah yang membunuh
orang-orang berharga bagi kekasihnya itu, ia tak bisa memaafkan dirinya
sendiri. betapa sulit menerima keadaan dirinya saat itu. melihat sosok Reita
yang kaku dalam dekapan Uruha, membuat perasaannya semakin hancur. ia bahkan
tak cukup pantas disamakan dengan Reita yang merelakan nyawanya untuk Uruha.
tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, karena
tak akan ada kata yang bisa ia ungkapkan untuk menjelaskan perasaanya saat itu.
dalam tatapannya yang kosong, air mata tak berhenti mengalir dari sepasang
matanya yang berwarna kelam. tubuhnya seolah membatu. luka-luka di tubuhnya tak
lagi terasa, tertutup oleh rasa sakit dan hancur perasaannya sendiri.
dilihatnya Uruha membawa jasad Reita keluar dari rumah itu.
beberapa saat kemudian ia kembali, namun Uruha tampak tak menghiraukan
keberadaan Aoi. ia terus sibuk menyiramkan cairan di sekeliling rumah kayu itu.
setelah selesai, ia kemudian mendekati Aoi. berdiri dengan angkuh di hadapan
kekasihnya sebagai Rosario.
"kau tahu, kenapa aku mengulur waktu kematianmu?"
Uruha menatap lurus kedua mata Aoi, "karena aku, mulai
mencintaimu..."
sepasang mata Aoi membulat sempurna mendengar kata-kata
terakhir Uruha. ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari uruha yang terus
berjalan meninggalkannya. di ambang pintu sosok itu berbalik, menatapnya untuk
yang terakhir kali dengan senyum yang terkembang di wajahnya. senyum yang amat
disukainya. kemudian Uruha berlalu setelah melemparkan pemantik yang menyala ke
rumah itu. api seketika menjalar dengan cepat, merambati tiap sudut rumah tanpa
meninggalkan sisa ruang sedikitpun.
Uruha yang membawa jasad Reita terus melangkah menjauhi
rumah yang sudah terbungkus api dengan sempurna di belakangnya. membiarkan
sosok Aoi terbakar di dalam sana. melakukan hal yang sama seperti kejadian
bertahun-tahun yang lalu, saat Aoi membakar jasad kedua orang tuanya.
—OWARI—
yatta ne~ akhirnya selese juga.. lunas sudah hutang saya.
gomenasai untuk akhir yg sangat gaje dan terlalu memaksakan
ini m(_ _)m
klo ada typo dan kalimat janggal harap maklum. bikin pake
sistem SKS
[Sistem Kebut Semalam] *bahasa mahasiswa/plakk*
jangan tanya kenapa endingnya gini, karena saya juga ga tau
kenapa gini endingnya(???)
kritik, saran, koment, correction are wellcome!
thx for reading!! ^0^)/
oya satu lagi, rata2 tebakan minna san semua bener.
cuma saya mau bikin rancu sedikit XD *disambit telor
Sugoii kakaaak XD saya suka fanfic ini XDd canggih(?) bener dah ficnya ^^d
BalasHapuseh?? sou desu ka?? hontou ni domo arigatou.. >///<
Hapusmakasih juga udah komen dan baca.. XDd